Tuesday, May 27, 2008

Imam As Syafi'i; Ulama Besar Bidang Fiqh

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.


Imam Syafi'i merupkan tokoh berpengaruh dalam perkembangan aliran fiqh di masa perkembangan Islam. Penggagas ilmu ushul fiqh ini adalah sosok alim ulama yang tafaquh fi ad dien. Ia dibesarkan dalam keluarga ulama, maka tak heran jika perkembangan intelektualnya berjalan dengan begitu cepat.

Ia bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Syafi'i. Para sejarawan sepakat bahwa imam ini dilahirkan pada tahun 150 H di Gaza. Beliau lahir pada tahun wafatnya Syaikh Fuqoha' Irak Abu Hanifah. Bahkan dalam sebagian kitab-kitab sejarah disebutkan bahwa beliau lahir pada malam di mana Abu Hanifah meninggal dunia. Jadi dapat dikatakan bahwa lahirnya seorang imam setelah meninggalnya seorang imam merupakan anugerah Allah agar bumi ini tidak kosong dari ulama.[1]

Menurut para sejarawan, ayah imam Syafi'i adalah keturunan Qurasy, nasabnya berakhir pada Bani Muthallib saudara Hasyim kakek dari nabi Muhammad saw. Banyak para ahli sejarah mengatakan tentang nasabnya : Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Muthallib merupakan salah satu dari empat anaknya Abd Manaf, mereka itu adalah Al Muthallib, Hisyam, Abd Syams kakek umawiyîn dan Naufal kakek Jabir bin Muth'am. Dan Muthallib inilah yang telah mendidik Abdul Muthallib kakek nabi Muhammad saw. Dalam sejarah penyebaran Islam, Bani Muthallib merupakan penyokong dan penolong bani Hasyim.[2]

Jadi jelas bahwa nenek moyang Imam Syafi'i memiliki andil besar dalam membantu rasul menyebarakan ajaran Islam di tanah Arab, hal ini menunjukkan bahwa beliau merupakan keturunan orang-orang yang terhormat.

Sedangkan Ibu Imam Syafi'i adalah orang Yaman, beliau memiliki peranan urgen dalam mencetak kepribadian imam Syafi’i. Ayah imam Syafi'i meninggal dunia pada saat imam Syafi'i masih balita, sehingga imam Syafi’i hidup dalam keadaan miskin. Ibu imam Syafi'i khawatir beliau kehilangan nasabnya (Quraisy) maka dari itu ketika berumur dua tahun, ibunya membawanya ke Mekkah. Di kota itulah beliau tumbuh dan mulai menghafal al- Qur'an serta mempelajari dan menulis hadist-hadist dari para ulama di bidangnya.

Sejak saat itu, imam Syafi'i berdomisili di tengah suku asli Arab selama kurang lebih sepuluh tahun. Di sana ia mempelajari secara cermat ilmu bahasa dan syair Arab klasik hingga ia menjadi orang yang bertalenta tinggi di bidang disiplin ilmu bahasa di masanya.

Dengan kredibilitas dan kapabilitas yang tidak diragukan lagi dalam penguasaan bahasa al- Qur'an itu, maka kemampuannya tersebut memberikan large gate kepada imam Syafi'i dalam mengkaji ilmu agama secara lebih mendalam hingga menghasilkan pemahaman agama yang benar-benar konkret dan dapat dipertanggung jawabkan tinggat validitas ijtihadnya. Diakui atau tidak, untuk mempelajari Islam secara mendalam, bahasa Arab adalah modal utamanya. Islam mucul di Arab dan sumber acuan utama syariat Islam baik itu Al-Qur'an atau As Sunnah Nabawiyah semuanya berbahasa Arab.

Sebelum mengkaji lebih dalam tokoh fiqih terkemuka ini, kami ingin menyinggung sejarah perkembangan fiqh Islam, sebagai bahan renungan, perbandingan dan membantu kita dalam memahami alur pemikiran dan sejarah perjalanan madzhab As- Syafi'i serta pengantar dalam memahami fiqih itu sendiri. Paling tidak ada enam periode yang telah dilalui oleh fiqh Islam dari kemunculannya hingga saat ini,[3] yaitu :

1. Periode pertama; Masa Kenabian

Periode ini terbagi menjadi dua masa yaitu masa Makki (kehidupan rasul di Mekkah) dan Madani (kehidupan rasul di Madinah). Fiqih yang berlaku pada masa ini semuanya berasal dari wahyu Allah, baik masalah-masalah yang diputuskan berdasarkan ijtihad nabi Muhammad, atau ijtihad para sahabat di hadapan rasulullah atau ijtihad mereka ketika rasulullah tidak berada bersama mereka dan kemudian rasul menetapkan, membenarkan atau mengingkari ijtihad para sahabat tersebut, semuanya itu berpedoman kepada wahyu Allah.

Dengan demikian pada masa ini seluruh permasalahan umat yang muncul dapat diselesaikan dengan baik tanpa ada perselisihan. Semua umat Islam bersatu padu dalam melaksanakan syariat tanpa adanya perbedaan pendapat di antara mereka, karena setiap terdapat suatu permasalahan maka permasalahan tersebut segera teratasi dengan kehadiran nabi Muhammad.

Pada masa ini tidak diperbolehkan menulis apa pun kecuali al- Qur'an. Langkah itu diambil sebagai tindakan tepat rasul untuk menghindari bercampurnya kitab suci al- Qur'an dengan “perkataan lain” sebagai mana telah terjadi dengan kitab-kitab samawi sebelum al- Qur'an. Tapi meskipun demikian ada sebagian dari para sahabat yang mendapatkan legitimasi dari rasul untuk menulis hadist-hadist nabawiyah, di antara mereka adalah Abdullah bin Umar, Ibn al Ash dan Ali bin Abi Thalib.

Jadi dengan demikian masa nubuah ini meninggalkan dua khazanah yang menjadi bekal masa-masa berikutnya dalam perjalanan umat Islam, yaitu Al Qur'an dan As Sunnah.

2. Periode kedua ; Masa Para Sahabat.

Masa ini memiliki ciri khas dengan banyaknya hadis-hadis yang dikaji oleh para sahabat kerena semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam dan bercampurnya orang-orang Islam Arab dengan bangsa lain. Tentunya bangsa-bangsa tersebut memiliki budaya dan peradaban yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab. Dengan demikian dituntut adanya pemahaman sempurna tentang hukum Allah dalam setiap peristiwa baru yang terjadi, karena merupakan suatu keharusan berpedoman kepada syariat dalam menentukan hukum atas suatu peristiwa yang berlaku.

Pada masa ini ditandai dengan banyaknya para sahabat yang mengusai fiqh, maka jika muncul permasalahan baru, mereka dapat dijadikan sumber acuan dalam penyelesaian masalah tersebut. Sebagian di antara mereka berijtihad tentang suatu hukum yang bersandar kepada nash-nash. Yang dapat mewakili golongan ulama ini adalah Umar bin Khattab dan muridnya Abdullah bin Mas'ud.

Maka semenjak masa kekuasaan khalifah Abu Bakar, Umar dan para khalifah setelahnya menjadikan Ijma' ulama sebagai sumber acuan syariat selain al- Qur'an dan al Hadist.

3. Periode ketiga; Masa Para Tabi'ien

Periode ini adalah permulaan peranan sahabat junior, mayoritas di antara mereka terlibat dalam konfrontasi dengan para pemalsu agama. Pada periode ini ditandai dengan adanya dua kelompok kajian yaitu; Hijaz dan Irak. Setiap kelompok tersebut memiliki ciri khas masing-masing yang dapat membedakan di antara keduanya.

Kelompok ulama Hijaz dalam berijtihad selalu berpegang teguh kepada nash-nash dari kitab dan sunnah, mereka tidak berpedoman kepada nalar kecuali sedikit dari mereka. Kelompok ulama ini tersebar luas di daerah Madinah yang dipimpin oleh; Abdullah bin Umar dan Sa'id bin Musib serta para tabiien lainnya. Sebagian yang lain tersebar di Mekkah yang dipimpin oleh Abdullah bin Abbas.

Adapun kelompok yang kedua yakni ulama Irak, kelompok ini cenderung mengedepankan penggunaan nalar dalam menyelesaikan permasalahan baru yang muncul. Munculnya ulama-ulama tersebut disebabkan timbulnya beragam permasalahan yang semakin kompleks dan mengguritanya hadist hadist palsu. Pelopor dari kelompok ulama golangan ini adalah Abdullah bin Mas'ud.

Ketentuan di atas bukan berarti seluruh ulama Hijaz berpegang teguh kepada hadist saja dan tidak ada di antara mereka yang bersandar kepada “akal” dalam mengambil istimbât al hukm. Faktanya terdapat beberapa ulama Hijaz yang bersandar kepada “akal”. Di antara mereka adalah Rabiah bin Abdurahman yang terkenal dengan juilukan Rabiah ar Ra'yi, ia adalah syeikh Imam Malik. Begitupun juga di Irak terdapat ulama yang tidak suka bersandar kepada “akal” (ra’yu) ketika berijtihad, seperti 'Amir bin Syarâhil yang dikenal dengan julukan Sya'bi.

4. Periode Tabien Junior dan Tabie Tabie'in

Periode ini dimulai sekitar akhir abad pertama dan awal abad ke dua Hijriah atau semenjak kekuasaan Imam Al ‘Âdil Umar bin Abdul Aziz. Periode ini ditandai dengan bercampurnya sunnah Rasulullah dengan fatwa para sahabat dan tabi'ien dalam menyelesaikan suatu permasalahan baru yang belum ditemukan pada masa Nabi.

Pada periode ini para ulama mulai menekuni bidang keilmuan masing-masing, sebagian mereka ada yang berkonsentrasi mengkaji bahasa, ada yang menganalisa tata bahasa dan sejarahnya, membahas permasalahan seputar aqidah dan tentunya juga ada yang fokus mempelajari fiqih yang bersandar dari berbagai disiplin ilmu yang menunjang dalam berijtihad.

5. Periode Mujtahid dan Permulaan Kemunculan Madzhab.

Periode yang kelima ini beriringan dengan kebangkitan intelektualitas dan kegiatan Ilmiah dikalangan umat Islam. Dimulai pada masa akhir kekuasaan Amwa hingga akhir abad ke empat Hijriah.

Merupakan suatu fakta bahwa pada periode ini muncul ilmu baru yang berkaitan erat dengan Fiqh, yaitu yang kita kenal dengan ilmu Ushul fiqh. Ilmu ini mucul pada abad kedua hijriah. Sebagian ulama sepakat penggagas ilmu ini adalah imam Syafi'i dengan karyanya “Ar Risalah”.

Ilmu ini menerangakan secara gambalang tentang pedoman-pedoman yang harus diikuti oleh para mujtahid dalam mengambil istinbâth al ahkâm asy- syar’iyah baik dari al- Qur'an, as Sunnah dan al Qiyas. Imam Syafi'i menulis risalah ini untuk menjelaskan manhajnya dalam berijtihad.

Pada periode ini muncul juga fiqh iftiradhi dan fiqh taqdiri atau cabang-cabang ilmu fiqh yang yang menunjang para ulama fiqh dalam menentukan tingkatan "fardhunya" berdasarkan kronologi kejadiannya kemudian menentukan hukum fiqhnya.

6. Periode Pengurangan Ijtihad dan Awal Munculnya Taqlid.

Pada abad keenam hijriah sebagian ulama menyeru menutup pintu ijtihad. Keputusan ini diambil karena ada sebagian ulama lainnya yang berijtihad tanpa dasar pijakan yang kuat sehingga mengkacaukan "dunia fiqh".

Faktanya, seruan pengharaman ijtihad dan menutup rapat-rapat pintu ijtihad tidak senafas dengan ajaran Islam. Bahkan ijtihad merupakan suatu keniscayaan dalam mencari hukum atas suatu peristiwa kontemporer yang tentunya dengan mengikuti syarat-syarat yang telah dirumuskan oleh para ulama.

Itulah beberapa periode perjalanan fiqh Islam klasik, dan periode ini akan terus berkembang sejalan dengan meningkatnya tuntutan zaman yang terus berubah setiap saat dengan begitu cepatnya.

Perkembangan Imam Syafi’i Hingga Menjadi Ulama Besar dan Berpengaruh.

Imam syafi'I sebagai salah satu ulama besar fiqih klasik yang selalu menjadi pusat perhatian dan perbandingan dalam mencari solusi atas permasalahan syariat kontemporer layak untuk dicermati lebih mendalam.

Sangat arif sekali jika kita menyelusurui aktivitas imam As Syafi'i dalam dunia pendidikannya hingga ia mendapatkan crown science di bidang fiqih. Jika kita mencermati dalam beberapa literatur klasik yang mengupas biodata Imam Syafi'i, paling tidak kita menemukan delapan periode yang menentukan arah keintelektualan beliau.

Pada periode itulah kepribadian imam syafii muncul, kondisi dan masa itulah yang menciptakan sosok manusia berjasa dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya di bidang fiqih. Adapun kedelapan periode tersebut adalah[4] :

Pertama, Kehidupan Imam Syafi’i di Mekkah.

Imam Syafi'i berdomisili di Mekkah bersama ibunda tercinta dan sanak familinya bani al Muthallib al Qurasyiyien. Beliau tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Islam yang masih "segar" dengan ajaran Islam. Inilah periode awal yang merupakan titik tolak pembentukan kepribadian imam Syafi'i hingga dapat mendudukkan beliau sebagi tokoh ulama fiqih berpengaruh di masanya hingga saat ini.

Di Makkah, imam Syafi’i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al Khaif. Di sana imam Syafi’i belajar kepada seorang guru, sebenarnya saat itu ibunya tidak mampu membiyayai sekolahnya, tetapi ternyata sang guru rela tidak dibayar setelah mengetahui kecerdasan imam Syafi’i.

Lebih lanjut imam Syafi’i bercerita, “Di al Kuttab saya melihat guru membacakan Al- Qur’an kepada murid-muridnya, maka saya ikut menghafalkan ayat-ayat Al- Qur’an itu hingga saya hafal semua ayat yang telah ia sebutkan. Lantas ia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.’ “. Karena kejeniusannya itu, imam Syafi’i dipercaya oleh sang guru untuk mewakilinya mengajar para murid jika ia tidak hadir. Belum menginjak usia baligh, beliau sudah dipercaya menjadi seorang guru!!

Setelah menyelesaikan hafalan Al- Qur’an di Al- Kuttab, beliau beralih ke Masjid Al Haram guna menghadiri halaqoh-halaqoh di sana. Walaupun hidup dalam kemiskinan, beliau tidak patah arang dalam menuntut ilmu. Imam Syafi’i kecil mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma dan tulang unta untuk dipakai menulis. Konon, tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan pecahan tembikar, tulang-tulang, potongan kulit dan pelepah kurma yang telah bertulisakan hadist-hadist nabi. Banyak para sejarawan yang mengatakan bahwa beliau telah menghafal Al- Qur’an pada saat berusia 7 tahun, lalu beliau membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berguru secara langsung dengan imam Malik di Madinah.

Di usia lima belas tahun, imam Syafi'i belajar kepada para tokoh terkemuka saat itu, di antara mereka adalah Sufyan bin `Uyainah, Muslim bin Khalid Az-Zanji Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ dan lain sebagainya.

Kedua, Masa Belajar Bersama Imam Malik di Madinah Al Munawwarah

Imam Syafi'i bertolak dari Makkah menuju Madinah guna menemui ulama besar kala itu, beliau adalah Imam Malik bin Anas. Di sana imam Syafi'i mengkaji kitab Al-Muwaththa’ bersama beliau.

Dalam perjalanan perdana menimba ilmu pengetahuan ini, pengetahuan imam Syafi’i semakin luas, beliau selalu agresif dalam mengkaji berbagai disiplin ilmu bersama Imam Malik, terutama dalam tahun-tahun terakhir menjelang wafatnya imam Malik di tahun 179 H.

Ketiga, Pergi Ke Yaman.

Setelah wafatnya dua syeikh yang memiliki pengaruh besar terhadap diri imam Syafi’i, yaitu imam Malik bin Anas di Madinah dan Muslim bin Khalid Az-Zanji di Makkah, beliau berinisiatif pergi ke Yaman. Di sana beliau bekerja di suatu LSM yang mencari solusi atas berbagai permasalahan sosial berdasarkan syariat Islam. Di samping itu beliau juga menuntut ilmu dari para ulama di Yaman, seperti; Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf al- Qadhi dan lain-lain.

Di Yaman Inilah imam Syafi’i mendapat cobaan berat dari Allah. Pada mulanya nama besar beliau semakin tersohor di negeri Yaman, hal itu terjadi karena aktivitas beliau yang sangat gigih dalam menegakkan keadilan, bahkan ketenaran beliau itu sampai juga ke telinga para penduduk Mekkah. Lantas, sebagian orang yang tidak senang atau merasa dirugikan dengan aktivitas beliau itu pergi menghadap khalifah Harun Ar Rasyid. Mereka melapor kepada sang khalifah bahwa imam Syafi’i memobilisasi masa untuk melakukan pemberontakan bersama orang-orang ‘Alawiyah.

Sebagaimana yang kita ketahui dalam kitab-kitab sejarah bahwa imam Syafi’i hidup di masa awal pemerintahan Bani Abbasiyah yang telah berhasil menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah. Sejak saat itu para penguasa Bani Abbasiah selalu menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Eksekusi mati pun kerap dilakukan terhadap orang-orang yang diklaim memberontak, meskipun tanpa bukti yang kuat. Peristiwa tersebut tentu membuat sedih hati umat Islam khususnya imam Syafi’i. Beliau melihat orang-orang ahlul bait menghadapi musibah yang mengenaskan dari para penguasa. Dengan penuh rasa prihatin, beliau menampakkan rasa cintanya kepada ahlul bait yang tertindas itu tanpa ada rasa takut sedikitpun. Sikap beliau itulah yang membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal beliau mencintai ahlul bait berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.

Laporan dusta kepada sang khalifah tentang diri imam Syafi’i itu berbuntut pada penangkapan beliau oleh para tentara pemerintah atas titah khalifah. Beliau bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah digelandang ke Baghadad dengan tangan terbelenggu rantai yang sangat kuat dan dikawal ketat oleh tentara terlatih.

Sesampai di Baghdad, beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan khalifah Harun Ar Rasyid. Saat itu sang khalifah memanggil algojo kerajaan dengan golok yang siap memutus leher para terdakwa. Setelah memeriksa seorang demi seorang, khalifah menyuruh algojonya memenggal kepala mereka. Katika sampai kepada giliran imam Syafi’i, beliau berusaha menceritakan kronologi dan menyampaikan penjelasan kepada khalifah. Dengan kecerdasannya dan pembelaan dari seorang ahli fiqh Irak; Muhammad bin al- Hasan Al Shaibani, beliau berhasil meyakinkan khalifah bahwa beliau tidak ada hubungan dengan aktivitas para pemberontak. Hingga akhirnya, sang khalifah membebaskan imam Syafi’i dari segala tuduhan dan beliau mendapatkan kesempatan tinggal di Baghdad.

Keempat, Pertemuan dengan Muhammad ibn Al-Hasan Al-Shaibani di Baghdad.

Sebagaimana yang pernah kami ceritakan sebelumnya, bahwa ketika imam Syafi’i difitnah melakukan pemberontakan kepada kerajaan Abbasiyah, beliau nyaris dieksekusi hukuman mati. Tapi saat itu ada salah seorang ulama fiqh terkemuka di Irak yang bernama Muhammad bin al- Hasan Al Shaibani membela beliau di hadapan khalifah, hingga beliau bebas dari segala tuduhan. Sejak saat itu imam Syafi’i rajin mengikuti halaqah-halaqah Muhammad bin al- Hasan Al Shaibani yang membahas berbagai permasalahan agama.

Selama berada di Baghdad, beliau aktif mengikuti kegiatan ilmiah yang melibatkan para ulama terkemuka, mayoritas ulama di Baghdad adalah ahlu ar ra'yi. Di antara para ulama tersebut adalah Imam Muhammad bin Hassan Shaibani, Waqi' bin Jarrah, Abdul Wahab bin Abdul Majid At Tsaqafi dan lain sebagainya.

Pertemuan dengan para ulama ahli ra'yi tersebut dapat menjadi ajang pembentukan krakteristik pemikiran imam Syafi'i pada masa-masa berikutnya. Rasionalisme mulai mewarnai corak pemikiran beliau atas suatu konteks permasalahan.

Kelima, Munculnya Madzhab Syafi'i di Makkah.

Setelah guru imam Syafi'i, Muhammad bin Hasan as Syaibani wafat pada tahun 189 H, imam Syafi'i meninggalkan Baghdad dan kembali ke tanah airnya Mekkah. Di sana beliau membentuk halaqah dan pengajian guna mengajarkan fiqih kepada masyarakat sekitar.

Ternyata pengajian beliau ini dapat menarik simpati masyarakat, banyaknya jama’ah yang aktif mengikuti pengajian beliau dapat dijadikan indikasi kuat akan hal itu. Mereka yang mendengar nama beliau dan ilmunya yang luas, tertarik mengikuti pengajarannya hingga beliau semakin terkenal. Salah satu di antara mereka itu adalah Ahmad bin Hanbal.

Halaqah yang diadakan oleh imam Syafi'i ini dijadikan ajang demonstrasi fiqih versi beliau. Terkadang di antara fatwa-fatwa yang beliau sampaikan berlawanan dengan fatwa gurunya; imam Malik.

Perbedaan pendapat antara imam Syafi'i dengan gurunya; imam Malik dan para ulama yang pro terhadap pendapat Abu Hanifah kerap kali muncul bahkan nampak dengan begitu jelasnya dalam halaqoh ini. Hal itu disebabkan adanya perbedaan sudut pandang atas suatu masalah dan metodologi istinbâth al ahkâm, maka tak heran jika kemudian terdapat perbedaan hukum atas suatu permasalahan tertentu dengan imam Malik dan para sahabat Abu Hanifah.

Ibn Katsir, dalam bukunya Manaqib As Syafi'i telah mengumpulkan perbedaan pendapat imam Syafi’i dengan tiga ulama besar fiqih, Abu Hanifah, Imam Malik dan Ahmad bin Hambal sebanyak dua ratus delapan puluh permasalahan fiqih.

Keenam, Perjalanan Imam Syafi'i ke Baghdad dan Penyebarluasan Fiqh Syâfi'i di Kota itu.

Imam Syâfi'i meninggalkan kota Makkah pada tahun 195 H setelah selama kurang lebih enam tahun mengajar fiqih di tanah suci tersebut. Lantas Imam Syâfi'i pergi menuju Baghdad yang kedua kalinya untuk menemui khalifah yang berkuasa di sana. Baghdad ketika itu merupakan pusat berkumpulnya para ulama baik dari golongan ahlul ra'yi maupun ahlul hadist.

Di kota seribu satu malam ini, imam Syâfi'i mulai mengokohkan fiqih versinya dan menyebarkan fiqih itu di tengah masyarakat. Ada pun di antara murid-muridnya yang mashur pada periode itu adalah, Abu Tsauri Al Kalbi, Abu Ali Al Karâbisi dan Al Hasan Al Za'farânî.

Pada periode ini Imam Syâfi'i mengarang buku yang cukup memupuni di bidang fiqih, buku itu berjudul "Al Hujjah", buku ini ditulis sesuai dengan madzhabnya yang lama. Kemudian Imam Syâfi'i juga mengarang buku "Ar Risâlah" dengan pembahasan yang ringkas disebut dengan "Ar Risâlah Al Qadîmah" ada pun "Ar Risâlah" yang lebih banyak ditulis di Mesir disebut "Ar Rasâlah Al Jadîdah".

Ketujuh, Perjalanannya antara Mekkah dan Baghdad.

Imam Syafi'i meninggalkan Baghdad pada tahun 197 H dan menuju ke Tanah suci Mekkah. Kemudian Syafi'i berdiam di tanah suci itu hingga tahun 198 H, setelah itu beliau kembali lagi ke Baghdad untuk yang ketiga kalinya. Beliau berdomisili di Baghdad hanya beberapa bulan saja, pada tahuan 199 H beliau meninggalkan Baghdad.

Imam Syâfi'i berdomisili di Baghdad dalam waktu yang singkat karena suhu politik di kota itu semakin memanas dan tidak mendukung ruang gerak beliau. Saat itu terjadi banyak fitnah terhadap para ulama, bangsa Persia memiliki pengaruh lebih besar dari pada bangsa Arab di tataran birokrasi. Bahkan tidak sampai di situ saja, kedekatan khalifah Ma’mun (198-218 H) dengan kaum Muktazilah menyebabkan sang kahalifah mendukung ideologi aliran itu dan mengcounter segala aliran yang berseberangan dengannya.

Konfilk dan pertentangan yang terjadi di antara Ma’mun dan saudaranya Amien menyebabkan adanya pembunuhan yang keji. Keadaan inilah yang membuat imam Syâfi'i berusaha menghindari pergesekan langsung dengan political clash tersebut, apa lagi pada saat itu beliau merupakan ahli fiqih yang berpengaruh dan juga seorang imam Ahlus As Sunnah di zamannya. Itulah penyebab utama mengapa Imam Syâfi'i menjauh dari Baghdad dan pindah ke Mesir. Ketika itu di negeri Pyramid tersebut masih dalam kondisi "terkendali" hingga memberikan peluang besar kepada Imam Syâfi'i menyebarkan dan mengokohkan madzhabnya yang baru.

Periode kedelapan, Di Mesir dan Wafatnya di Negeri itu.

Imam Syâfi'i pergi menuju Mesir di penghujung tahun 199H. Beliau berdomisili di sana sebagai penyebar dan sekaligus menulis madzhab barunya dalam karya-karya monumental yang sangat penting bagi para ulama setelahnya dalam mengembangkan ilmu fiqih.

Pada masa yang tidak begitu panjang, paling tidak Imam Syâfi'i telah melakukan dua hal besar dalam kancah perkembangan ilmu syariat Islam, yaitu Pertama, malakuakan kaderisasi para ulama dengan mengajarkan segala pengetahuan yang dimilikinya baik di bidang fiqih dan ushul fiqh. Belakangan para murid Imam Syâfi'i ini menjadi alim ulama yang tentu dapat memberikan kontribusi besar bagi perkembangan fiqh dan ushul fiqh pada masa mereka. Kedua, menulis pendapatnya yang baru dalam fiqh (madzhab al jadîd) dan ushul fiqh dalam buku al-Umm, Ar Risâlah Al Jadidah dan beberapa buku lainnya.

Al Baihaqi menulis dalam Manâqib As Syâfi'i yang bersumber dari murid Imam Syâfi'i Ar Rabî' bin Sulaimân al Murâdî bahwa Imam Syâfi'i berdomisili di Mesir selama empat tahun dan pada masa itu beliau dapat menulis ide-ide briliannya sebanyak seribu lima ratus kertas, menyelesaikan kitab umm dan kitab sunan.

Di antara para muritnya yang terkenal pada masa itu adalah Abu Ya'qub al Bûwaithi, Abu Ibrâhim al Maznî , Ar Rabî' bin Sulaimân al Murâdî dan lainnya.

Itulah priode-priode yang dilalui oleh imam Syafi’i. Dengan semangat yang membara dalam menuntut ilmu, melakukan perjalanan jauh menemui para ulama dan tidak bergetar sedikitpun menghadapi cobaan ketika belajar, akhirnya beliau meraih kesuksesan besar dan dapat meninggalkan karya-karya monumental untuk generasi setelahnya hingga saat ini.



[1] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al Madâhib Al Islâmîyah, Dar Al Fikr Al Arâbî, Beirut, Juz II, hal. 427

[2] Bahkan ketika bani Hasyim mengalami masa-masa sulit karena dikucilkan dan diembargo oleh orang-orang Qurasy, bani Muthallib dengan rasa persaudaraan yang tinggi memberikan dukungan moral kepada bani Hasyim, mereka ikut serta merasakan penderitaan yang dialami oleh bani Hasyim. Lebih lengkapnya lihat : Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al Madâhib Al Islâmîyah, Dar Al Fikr Al Arâbî, Beirut, Juz II, hal. 428

[3] Al Imâm Taqîyi Addin Abi Bakar bin Muhammad Al Husaini Ad Dimasyqi As Syâfi'I, Kifayah Al Akhyâr Fi Halli Ghâyah Al Ikhtishar, Dar Al Aqidah, Cet I 2006, Hal 8.

[4] Ibid., hlm. 21

Kairo, 12 Mei 2008

M. Abdurachman. Rochimi.

No comments: