Saturday, November 15, 2008

Mengapa ke Mesir?...

Mengapa ke Mesir?...

Saya sudah 5 tahun berada di Mesir, dan akhirnya harus kembali ke tanah air juga…


Peradaban Mesir sudah dikenal sejak lama, dengan atsar-atsar peninggalan yang ada saat ini menunjukkan bahawa negeri itu memiliki peradaban yang begitu tinggi di masa lalu. Kendati peradaban yang begitu tinggi hanyalah kenangan, tapi hal itu tidak mengaurangi daya tarik Mesir sebagai tujuan belajar, terbukti dengan puluhan ribu pelajar manca negara yang datang setiap tahunnya.


Salah satu alasan saya memilih Mesir sebagai tempat menuntut ilmu karena adanya bahan referensi yang begitu lengkap, bahkan buku-buku itu dapat dibeli dengan mudah dan harga yang murah. Pemerintah Mesir sangat memperhatikan dunia pendidikan, bahkan tidak jarang memberikan subsidi dalam penerbitan buku. Saya pikir inilah alasan pertama mengapa saya begitu betah belajar di Mesir. Alasan lainnya yang membuat hati saya berat meninggalkan negeri ini adalah para ulama dan ahli ilminya. Di sini sangat mudah sekali kita menjumpai para ulama, di setiap sudut-sudut masjid terdapat pengajian, baik Hadist mau pun Al- Qur'an, setiap selesai shalat sering diadakan ceramah keagamaan atau kuliah singkat seputar peradaban, sejarah, bahasa dan pembahasan menarik lainnya. Kita tahu di negeri ini banyak sekali masjid, kita menemukannaya dengan mudah di mana pun kita beraada, kecuali mungkin di gurun pasir nan tandus itu, karena memang di sana enggan didirikan masjid, jika ada, maka jamaahnya hanyalah kadal mesir yang liar. Mesjid sebagai tempat pengokohan spiritual dan intelektual memang pantas dijadikan tempat favorit berdiam diri. Apa lagi masjid-masjid di sini selain besar, bersih dan berhambal tebal juga full AC dan disediakan air minum lengkap dengan water dispensernya.


Menikmati jagung bakar di pinggiran sungin Nil sambil membaca buku atau merenung merupakan kegiatan yang selalu memikat hati saya. Tak jarang saya dan teman-teman menghabiskan waktu akhir pekan di sana. Santai tapi serius, rileks tapi berpikir. Duduk santai di cafe dengan secangkir syai bil halib dan qibdah yang dilengkapi syawarma juga menambah rasa betah saya berada di sini. Belum lagi keramahan dan mujamalah orang-orang Mesir tehadap kita. Mungkin tingkat keramahan itu akan berlipat ganda jika kita mengunjungi desa-desa di Mesir. Yah itulah beberapa daya tarik Mesir dan mengapa saya betah di negeri ini dan enggan meninggalkannya, padahal saya sudah menambah satu tahun untuk berada di sini, tapi waktu setahun itu terasa sedikit sekali, mungkin dengan padatnya aktivitas sehingga perjalanan waktu pun menjadi tidak terasa. Di samping sisi-sisi positif Mesir yang saya gambarkan di atas, tentu ada pula sisi-sis negatifnya, pasti ada juga kekurangannya, tak ada gading yang tak retak, tapi di sini saya tidak ingin menyampaikannya.


Akhir bulan ini, saya akan menuju Mekah, malaksanakan ibadah haji, selepas itu saya berencana pergi ke Luxor bersama teman-teman dan kemudian meninggalkan Mesir. Semoga semua ilmu yang saya pelajari di negeri ini bisa bermanfaat bagi saya, keluarga dan negara.

Thursday, May 29, 2008

At-Tsabit wal Mutahawwil;Pembacaan Atas Tradisi Arab-Islam

Kehadiran Islam dalam peradaban dan kebudayaan Arab merupakan suatu anugerah yang telah meniscayakan konversi besar-besaran. Dalam tahap selanjutnya konversi ini sanggup memasung dan mengubah sudut pandang Arab yang sudah lama melingkar dalam tubuh sosio-budaya Arab saat itu. Dan rupanya Arab pasca Islam ini sudah cukup mampu untuk menumbuhkan peradaban baru yang lama menjelaga dalam korpus literatur sastra bahasa. Kendati demikian bias-bias Arabisme masih saja menguntit produk-produk budaya yang kian lama semakin nampak dalam gagasan politik non-kooperatif imperium Umayah.


Abad kedua hijriah dianggap sebagai motivasi awal dalam menciptakan seperangkat dasar guna menelurkan tradisi intelektual. Hal ini bisa kita telusuri dari beragam studi pembacaan terhadap teks-teks keagamaan yang dilegalkan. Misalnya saja disana ada suatu benturan paradigma antara kaum sunni, murjiah, muktazilah maupun syiah. Benturan ini bukan saja pada dataran epistemologis melainkan dipersenjatai pula dengan sederet nalar ideologis. Wajar saja bila orbit intelektual Arab selanjutnya cenderung beredar sekitar ruang epigonisme ketimbang inovasi.


Dengan maraknya trend epigonisme ini maka proyek pembaharuan inovatif menjadi terbengkalai. Pembaharuan dalam tiap level disiplin keilmuan dianggap sebagai kesesatan. Apalagi anggapan semacam ini disulut dengan doktrin-doktrin yang memang berniat mementahkan segala jenis upaya pembaharuan. Hingga gilirannya semua khazanah keintelektualan Islam mandeg .


Al-tsabit dan al-mutahawwil merupakan dua keping istilah yang kerap mengiringi nuansa kebudayaan Arab. Al-tsabit berarti yang tetap sedang al-mutahawwil adalah yang berubah. Al-tsabit berupa kecenderungan yang mendewakan peradaban kuno yang telah lama terkubur. Al-mutahawwil merupakan nalar progresif, yang kerap menuntut pembaharuan dan pelampauan terhadap tradisi yang ada.


Selama berabad-abad lamanya aspek al-ibda atau al-mutahawwil dalam konteks peradaban Arab sudah lama melapuk. Hanya peniruan dan al-tsabit belaka yang mampu menguasai seraya menghipnotis segala angan-angan kemajuan. Pun pada giliranya semua itu benar-benar telah mematikan citra kreatifitas yang sejak lama diusung oleh para inovator Arab-Islam.


Ini nampaknya sudah merambah pada seluruh aspek. Dalam disiplin sastra misalnya kutub al-tsabit semakin menggila semenjak diserukan oleh al-Asmui dan Jahidz. Mengikuti model generasi jahiliyah (baca: para penyair al-muallaqat as-sab’)merupakan jalan terbaik dalam menyusun gaya sastra berkelas tinggi. Sedang menciptakan sastra tandingan sama saja dengan penurunan mutu sastra Arab. Orang-orang semacam Abu Nawas dan Abu Tamam dinilai sebagai simbol bagi kemerosotan nilai sastra Arab. Pasalnya keduanya berupaya menggantikan kecenderungan yang sudah lama mapan dengan model yang sama sekali baru. Padahal keduanya berniat mengkampanyekan lahirnya model baru, dengan tujuan mencari standar layak dalam mengkaji dan mengembangbiakkan ketinggian nilai sastra Arab.


Pada sisi lain kutub ini rupanya sudah menjalar ketubuh para fukaha yang berusaha mengayakan hukum-hukum baru berdasar teks al-quran maupun hadis semata. Ruang ijtihad semakin tergencet setelah Imam Syafii membeberkan semua ide-idenya yang terekam dalam maha karyanya ar-risalah. Lebih lanjut Syafii mengaitkan doktrin khilafah dengan kehendak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Ketaatan kepada para penguasa merupakan jawaban yang paling tepat untuk menghindari tragedi (fitnah) yang lebih besar. Dalam kata lain kesimpulan Syafii ini memberikan posisi strategis bagi para penguasa untuk menggencarkan sikap anarkis dan despotnya.


Dengan demikian maka keputusan yang ditampilkan pejuang al-tsabit ini telah memancing sejumlah reaksi keras dari kalangan oposisi. Namun sayangnya daya jual ide-ide yang ditawarkan oleh kelompok tersebut tak kunjung menghadirkan hasil sepadan. Hanya saja, perjuangan mereka ini kemudian dikuatkan dan dibela oleh para proletariat dari kalangan petani kecil dan kaum buruh miskin.


Perjuangan kaum buruh ini bermula dari sebuah gerakan yang dikomandoi oleh Ali ibn Muhammad. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zinj (orang negro) yang untuk selanjutnya mampu mengobarkan semangat revolusi demi menuntut keadilan dan persamaan. Setelah gerakan ini berada dalam ambang kehancuran, revolusi Qarmit kembali menampakan kegagahanya guna meneruskan cita-cita luhur yang diemban oleh gerakan Zinj. Sayangnya kedua gerakan tadi mampu dihalau oleh kekuatan pemerintahan resmi yang tertutup.


Pada dataran teoritis, aspek al-ibda’ ini muncul seiring dengan konsep ad-dhahir dan al-batin kaum sufi.Tidak seperti para fukaha, konsep ini menawarkan kepada kita seberkas hakikat batin yang merupakan ruh dari segala macam syariat. Jadi menurutnya, syariat Islam itu memiliki dua dimensi, ada dimensi esoterik dan eksoterik, lahir dan batin. Adapun dimensi yang memilki superioritas tinggi adalah aspek batin. Dan ini—batin-- adalah maksud dibentuknya syariat Islam.


Kemunculan konsep-konsep ini kemudian menanamkan sederet pemahaman yang lebih radikal. Ibn Ruwandi maupun ar-Razi datang secara bersamaan dalam rangka menggugurkan kosep an-nubuwwah yang sudah lama mapan. Kesimpulan ini timbul berdasarkan akal semata. Karena akal merupakan sumber dari macam pengetahuan yang berfungsi sebagai pembeda antara yang baik dan buruk maka adalah sia-sia jika Tuhan mengutus seorang rasul. Pun akal juga telah merangkum segala yang kita butuhkan. Akal adalah sumber utama yang tak bisa diganggu gugat. Disini pengaruh Brahma sangat nyata sekali dalam kedua sosok ini.


Dari pemaparan diatas kita bisa menarik kesimpulan bahwa dari kedua masing-masing aspek memiliki karateristik sendiri. Aspek al-ittiba’terlalu kuat bepegang pada teks-teks Tuhan yang masih verbal, menganggap akal sebagai kebid’ahan, menjadikan kepercayaan pada kekuatan supranatural sebagai hasil final dari segalanya dan yang terakhir adalah rawan dimanipulasi dan didominasi oleh kekuatan para penguasa.


Sedang al-ibda’merupakan keyakinan pada akal sebagai mekanisme epistemologis sempurna, bebas dalam artian tidak terikat oleh bentuk kekuasaan manapun, berusaha memahami teks-teks Tuhan demi mencapai keutuhan manusia sebagai mahluk merdeka, dan yang terakhir adalah menciptakan sepenggal peradaban baru yang sama sekali jauh dari rekayasa agama yang disalah pahami.


Jelaslah, bahwa kenyataan ini menghantarakan tradisi Arab pada keakutan phobia terhadap segala bentuk perubahan. Apalagi bangkai-bangkai konsep ini sudah lama diharamkan dan dienyahkan dari sistem tradisi pemikiran Arab. Memperjuangkan aspek al-ibda’ berarti menghantarkan jiwa dalam jerat tiang kematian. Inilah satu diantara beberapa gambaran yang menyeret aspek perubahan (al-ibda’) dijajah oleh kebengisan nalar epigonisme.